Secara de facto dan de jure
biliar, golf, dan bolling adalah olahraga prestasi, sehingga seyogianya
dikecualikan dari pengenaan tarif pajak hiburan.
Hal ini perlu mendapat
perhatian khusus Majelis Mahkamah Konstitusi demi kepentingan pembinaan
dan pengembangan ketiga jenis olahraga itu.
Pernyataan
itu disampaikan Staf Khusus Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Prof
Faisal Abdullah saat hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemohon dalam
sidang lanjutan pengujian Pasal 42 ayat (2) huruf g UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rabu (23/11).
Faisal yang hadir mewakili Menpora Andi A Mallarangeng menegaskan dalam perpektif UU No 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), ketiga cabang olahraga
itu dapat dikategorikan olahraga prestasi, bukan jenis hiburan. Sebab,
ketiga jenis itu sudah lama memiliki induk organisasi masing-masing
yaitu Persatuan Olahraga Biliar Seluruh Indonesia (POBSI), Persatuan
Golf Indonesia (PGI), dan Persatuan Bolling Indonesia (PBI)
“Apalagi
ketiga induk organisasi cabang olahraga itu telah berafiliasi dengan
federasi cabang olahraga internasional yaitu World Pool Billiard
Association (WPA), International Golf Federation (IGF), dan
International Bowling Federation (IBF),” bebernya.
Faisal
meminta Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
perlu ditinjau kembali agar olahraga seperti golf dapat ditempatkan
sesuai jati dirinya sebagai cabang olahraga prestasi. Karena itu,
menurut Faisal, tidak tepat jika tiga jenis cabang olahraga itu
dijadikan sebagai objek pajak hiburan karena sangat memberatkan para
atlet.“Karenanya, Pasal 42 ayat (2) huruf g kiranya dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Ditambahkannya,
Kemenpora tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusan UU Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah ini. “Seharusnya jika terkait materi muatan
yang terkait pengaturan kepentingan sektoral seperti pengenaan pajak
bagi tiga cabang olahraga itu sewajarnya dilibatkan untuk memberi
pertimbangan dan masukan,” imbuhnya.
Hal
senada dikatakan ahli pemohon lainnya yaitu Ketua Bidang Organisasi KONI
Pusat, Ngatino. Menurutnya, golf merupakan kategori olahraga prestasi
sesuai Pasal 27 UU SKN. “Apalagi olahraga golf telah dipertandingkan
sejak PON Tahun 1969 di Surabaya hingga PON Tahun 2008 di Kaltim. Jadi
sejak dahulu golf dikenal sebagai olahraga prestasi dan PGI sendiri
merupakan anggota KONI,” kata Ngatino.
Karena
itu, pembinaan dan pengembangan cabang olahraga golf tidak dapat
dikualifisir sebagai hiburan. “Insentif pajak bagi atlet dan pelaku
olahraga hal yang perlu mendapat perhatian khusus pemerintah,”
katanya.
Sebagai diketahui, permohonan ini diajukan beberapa perusahaan pengelola lapangan golf yakni PT Asosiasi Pemilik
Lapangan Golf Indonesia, PT Pondok Indah Padang Golf (Tbk), PT Padang
Golf Bukit Sentul, PT Sentul Golf Utama, PT Sanggraha Daksamitra, PT New
Kuta Golf and Ocean View, PT Merapi Golf, PT Karawang Sport Center
Indonesia, dan PT Damai Indah Golf.
Mereka
keberatan lantaran pelaku usaha pengelolaan lapangan golf dikategorikan
sebagai penyedia jasa hiburan yang dikenai pajak hiburan lewat peraturan
daerah sesuai Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Sementara, pelaku usaha di bidang olahraga lain seperti
sepakbola, futsal, tenis, bulu tangkis, basket, menembak tidak dikenakan
pajak hiburan.
Menurut
pemohon, pelaku usaha olahraga golf tidak jauh berbeda dengan pelaku
usaha olahraga lainnya. Lagipula menetapkan golf sebagai kegiatan
penyedia jasa hiburan, bukan sebagai cabang olahraga, bertentangan
dengan Konsiderans UU Sistem Keolahragaan Nasional.
Hal ini dianggap sebagai bentuk perlakuan yang diskriminasi atau perlakuan yang tidak sama bagi para pemohon yang bertentangan UUD 1945.
Karena itu, Pasal 42 ayat (2) huruf g UU Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, khususnya kata 'golf' dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.