Novel Baswedan. Foto: Dokumen JPNN.com
JAKARTA - Tindakan petugas Badan Reserse
Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menangkap dan menangani kasus tuduhan pidana
atas mantan Kapala Satuan Reserse (Kasatserse) Kepolisian Resor Kota (Polresta)
Bengkulu, Kombes Novel Baswedan, Jumat (1/5) dini hari lalu, kental konflik
kepentingan.
Pandangan dikemukakan Sekretaris Badan
Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
(PBHI) Suryadi Radjab.
Apalagi dalam proses penangkapan, kata
Suryadi, petugas juga melakukan tindakan menggeledah rumah dan istri
Novel, menyita sejumlah barang termasuk sertifikat tanah dan surat penugasan
Novel dari KPK.
"Novel juga sempat diborgol sebelum
mendekam beberapa jam dalam tahanan Markas Komando (Mako) Brigade Mobil
(Brimob) Kelapa Dua, Depok, usai menjalani interogasi selama 10 jam yang sempat
tanpa didampingi penasehat hukum (PH). Malamnya juga tanpa PH, aparat Bareskrim
masih menerbangkan Novel ke Bengkulu," ujarnya.
Menurut Suryadi, ada sejumlah hal mengapa
penahanan novel terkesan sarat kepentingan. Antara lain, sulit dibantah
penangkapan berhubungan dengan konflik antara KPK vs Mabes Polri dalam
tiga bulan terakhir, seiring ditetapkannya Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai
tersangka korupsi penerimaan gratifikasi.
"Novel juga merupakan seorang
penyidik yang berhasil membongkar kasus proyek simulator SIM bernilai Rp 196,8
miliar yang menyeret Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo dan
wakilnya Brigjen Didik Purnomo sebagai tersangka pada 2012," katanya.
Alasan lain, Novel menurut Suryadi,
sempat disebut-sebut sebagai penyidik BG dan anggota DPR dari PDIP, Ardiansyah
yang ditangkap pada 9 April ketika Kongres PDIP sedang berlangsung di Bali.
"Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan
Khusus Bareskrim Polri Brigjen Victor Edison Simanjuntak juga menyatakan, sudah
memiliki daftar nama penyidik kasus BG. Namun, KPK membantah keterlibatan Novel
dalam penanganan kedua kasus itu. Lepas dari bantahan KPK, Novel memang menjadi
sasaran 'pembalasan'," ujarnya.
Suryadi juga mendasari pandangannya
karena surat perintah penangkapan Novel ditandatangani Direktur Tindak Pidana
Umum Bareskrim Polri Brigjen Herry Prastowo. Padahal, Herry adalah saksi dalam
kasus BG yang sudah dipanggil dua kali oleh KPK. Namun selalu mangkir dari
pemanggilan.
Pengusutan kasus Novel oleh Bareskrim
itu ibarat 'jeruk makan jeruk', polisi mengusut polisi, yang dipastikan sulit
berlangsung independen dan tidak memihak. Apalagi ditambah dugaan 'pembalasan'
terhadap KPK," ujarnya.
Di sisi lain, PBHI menurut Suryadi tetap
menilai tuduhan yang disangkakan terhadap Novel, sangat perlu diungkap. Karena
menyangkut hak azasi manusia.
"PBHI mendesak Presiden Jokowi
meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan yang transparan atas kasus yang
terjadi pada 2004 di Bengkulu itu, supaya dapat diungkap kebenarannya,"
ujar Suryadi.(gir/jpnn)
SUMBER: JPNN.com